YOGYAKARTA  || PratamaNews.com || 22 Juli 2025 — Proyek pembangunan SD Negeri Gambiran yang berlokasi di Kelurahan Pandeyan Kota Yogyakarta, menuai sorotan tajam dari publik. Proyek bernilai miliaran rupiah ini kini diterpa dugaan serius manipulasi data oleh pihak penyedia jasa, CV Multi Teknik Group, yang di menangkan tender melalui dokumen yang patut diduga mengandung unsur pemalsuan dan di rekayasa.

Scroll Untuk Lanjut Membaca

Proyek yang terdaftar dalam sistem LPSE dengan kode tender 10026989000 dan RUP 54531610, dikelola oleh Satuan Kerja Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan dan Kawasan Permukiman (PUPKP) Kota Yogyakarta, dan bersumber dari Dana APBD, memiliki pagu sebesar Rp 3,800 miliar. CV Multi Teknik Group dinyatakan sebagai pemenang dengan tawaran senilai Rp 3,039 miliar.

 

Namun, kemenangan tersebut kini dipertanyakan setelah muncul kesaksian dari seorang narasumber berinisial IAG, seorang petugas Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Dalam keterangannya, IAG menyatakan bahwa identitas pribadinya dicatut tanpa sepengetahuan maupun persetujuan dalam dokumen penawaran tender oleh CV Multi Teknik Group.

“Saya tidak pernah mengenal CV Multi Teknik Group, tidak pernah bekerja sama, tidak pernah berkomunikasi, dan tidak pernah memberikan izin untuk menggunakan nama atau dokumen saya,” ujar IAG. Ia menegaskan bahwa dokumen pribadi seperti sertifikat K3, ijazah, KTP, dan NPWP digunakan secara ilegal.

 

Yang lebih mencengangkan, IAG mengungkap bahwa ia tidak pernah diundang untuk klarifikasi oleh Pokja Pemilihan, Panitia Klarifikasi Mandiri (PCM), hingga penandatanganan kontrak, padahal posisinya sebagai tenaga ahli K3 seharusnya menjadi bagian dari personil kunci proyek.

 

Tindakan yang diduga dilakukan oleh CV Multi Teknik Group tidak hanya melanggar etika pengadaan, tetapi juga menabrak sejumlah regulasi penting:

 

1. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 jo. Perpres No. 12 Tahun 2021. Pasal 7 ayat (1): Pengadaan harus memenuhi prinsip efisien, efektif, terbuka, bersaing, transparan, adil, dan akuntabel. Pasal 28 ayat (1): Penyedia wajib memberikan data yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 78 ayat (1) & (2): Penyedia yang memberikan data tidak benar dapat dikenai sanksi administratif. Pasal 78 ayat (5): Termasuk blacklist nasional selama 2 tahun.

 

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 263 KUHP: Pemalsuan dokumen yang menyebabkan kerugian dapat dipidana penjara hingga 6 tahun. Pasal 264 KUHP: Pemalsuan akta otentik atau dokumen resmi negara dapat dihukum hingga 8 tahun penjara.

 

3. Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001): Pasal 7 Ayat (1) huruf a: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan, dapat dikenai sanksi pidana penjara maksimal seumur hidup dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar.

 

Pemanfaatan dokumen palsu untuk tender pemerintah dapat dikategorikan sebagai korupsi, dengan ancaman penjara minimal 4 tahun hingga seumur hidup, dan denda maksimal Rp 1 miliar.

 

Pertanyaan besar yang kini mencuat adalah mengapa Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan Pokja Pemilihan tetap melanjutkan proses tender hingga penandatanganan kontrak (SPMK) meskipun terdapat indikasi kuat bahwa data personil yang diajukan oleh penyedia fiktif?

 

Jika terbukti adanya kelalaian, pembiaran, atau konflik kepentingan, maka PPK dan Pokja dapat dikenai: Sanksi etik dan disiplin ASN, mengacu pada UU ASN dan PP No. 94 Tahun 2021. Sanksi pidana, jika terbukti ikut serta dalam manipulasi atau pengabaian kewajiban verifikasi dokumen tender.

 

Kegiatan konstruksi berpotensi dilaksanakan tanpa tenaga ahli yang berkompeten, mengancam kualitas dan keselamatan bangunan sekolah. Kasus ini menggerus kepercayaan publik terhadap transparansi dan integritas pengadaan pemerintah. Uang rakyat yang seharusnya digunakan untuk fasilitas pendidikan malah digunakan berdasarkan kebohongan administratif.

 

Pada 4 Juli 2025, IAG telah mengajukan surat pengaduan resmi tertanggal 1/SPP/VII/2025 kepada PPK Dinas PUPKP Kota Yogyakarta. Dalam surat tersebut, ia menuntut: Pemeriksaan ulang keabsahan dokumen tender. Pencabutan hasil pemenang tender dan pembatalan kontrak/SPMK yang sudah diterbitkan. Penyelidikan menyeluruh terhadap CV Multi Teknik Group.

 

Publik kini mendesak: 1. Dinas PUPKP Yogyakarta dan Inspektorat Kota segera menghentikan proses kontrak proyek. 2. LPSE Yogyakarta melakukan audit ulang dokumen tender. 3. Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dan Aparat Penegak Hukum (Kejaksaan, Kepolisian, hingga KPK) menyelidiki dugaan pelanggaran pidana. 4. Penerapan Daftar Hitam (Blacklist) terhadap CV Multi Teknik Group bila terbukti bersalah. 5. Pemerintah daerah lain waspada terhadap CV yang sama dalam tender-tender berikutnya.

 

Salah satu aspek yang mencemaskan adalah tindakan intimidasi terhadap jurnalis yang meliput kasus ini. Berdasarkan informasi yang dihimpun, CV Multi Teknik Group dan pihak terlibat dikabarkan mengancam serta mencoba memaksa media untuk menurunkan berita dengan kompensasi dan tekanan verbal, sebuah praktik yang tidak hanya melanggar kebebasan pers, tapi juga mengindikasikan upaya sistematis menutup-nutupi pelanggaran.

 

Pada Sabtu, 19 Juli 2025 pukul 12.20 WIB, CV Multi Teknik Group mengadakan pertemuan di Starbucks Coffe Sun City Mall Sidoarjo dengan awak media, direktur perusahaan, pengacara, dan koleganya.

 

Dalam pertemuan itu, CV Multi Teknik Group menyampaikan bukti dan narasi tandingan guna menepis dugaan pemalsuan. Namun setelah dikonfirmasi kembali oleh wartawan kepada IAG, semua bukti tersebut dibantah keras.

 

“Pernyataan mereka berbalik dari fakta. Itu manipulatif dan tidak sesuai realita. Saya tidak pernah mengakui atau menyerahkan dokumen apa pun,” tegas IAG.

 

Sejumlah media mengungkapkan adanya upaya tekanan, intimidasi, dan tawaran kompensasi dari CV Multi Teknik Group agar pemberitaan tentang dugaan manipulasi data dihapus.

 

Ini adalah pelanggaran terhadap UU Pers No. 40 Tahun 1999: Pasal 4 Ayat (3): Pers nasional tidak dapat dikenai sensor, pembredelan, atau pelarangan penyiaran. Pasal 18 Ayat (1): Menghalangi kemerdekaan pers bisa dipidana penjara 2 tahun dan/atau denda Rp 500 juta.

 

Kasus dugaan pemalsuan dokumen proyek SD Negeri Gambiran bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan indikasi kuat korupsi terstruktur dalam proses pengadaan barang/jasa.

 

Jika dibiarkan, Praktik manipulasi bisa menular ke proyek-proyek lain di seluruh Indonesia. Uang rakyat dan masa depan pendidikan anak-anak Indonesia menjadi korban dari ketidakjujuran segelintir pihak.

 

Masyarakat berharap pemerintah, penegak hukum, dan media tidak tunduk pada tekanan, dan menjadikan kasus ini momentum untuk memperbaiki sistem pengadaan nasional, termasuk: Verifikasi ketat identitas personil dalam tender. Penguatan sistem LPSE agar mendeteksi otomatis data ganda atau tidak valid. Sanksi tegas dan terbuka terhadap pelaku dan pembiar.

 

Transparansi adalah harga mati. Manipulasi data adalah bentuk perampokan terhadap kepercayaan publik. Jika dibiarkan, maka hukum tinggal menjadi formalitas, dan pengadaan publik menjadi arena permainan kotor.(Red)